AJIBATA, Batak Nature: Horsik namanya, terletak di tepi Danau Toba. Dari Ajibata jaraknya paling sekitar 6 kilometer. Sudah ada lintasan beraspal di sana tapi selepas pengkolan yang di Lumban Suhi-suhi, Jambu, lapisan ter-nya telah terkelupas dan hilang sehingga bebatuannya menyembul untuk seterusnya. Pada bagian tertentu malah bahan keras itu telah tiada.
Kemarin, bersama Bang Lumumba, dan si bungsu kami, Rheinhard, kami menyusurinya. Jalan kaki pilihan kami; cara yang memang sangat kami sukai.
Medannya berkelok-kelok dan turun-naik. Alamnya masih terbilang perawan kendati telah dibelah jalan yang hanya bisa dilintasi satu mobil seukuran angkot yang kalau di sekitar Parapat-Ajibata umumnya bermesin Isuzu Panther.
Membelah betis perbukitan, jalur itu. Pohon-pohon besar tak banyak di lereng yang terjal di sejumlah titik. Begitupun, tetap asri rasanya sebab kaya tanaman. Di tepi jalan, kopi dan coklat antara lain yang menghampar.
Udaranya sungguh segar. Kalau tak dari bukit, ya dari danau bayu rajin berhembus. Air dari ketinggian menetes atau mengalir di sana-sini pada tepi jalan. Atmosfir yang berbeda betul dari yang kucecap salama di kitaran Kalibata City, Jakarta, sehari sebelumnya.
Kelengangan hanya diinterupsi salak kawanan anjing yang menjadi penunggu rumah. Kediaman di pinggir jalan itu biasanya tunggal sebelum sampai di perkampungan.
Pulau Samosir yang membentang di sebelah kanan menjadi obyek yang menarik untuk diabadikan terlebih jika ada kapal kayu yang sedang melintas di bawah jalan yang sedang kami tempuh. Diriku sering tertinggal karena asyik mengabadikan suasana dengan kamera handphone atau DJI.
Ayam yang terbang jauh karena terperanjat sebaik mendengar bunyi langkah kami, gonggongan anjing yang mencoba meneror dengan gertak sambal, atau monyet yang berlompatan dari dahan ke dahan menjadi pemandangan yang menggarisbawahi eksotisme.
Jauh dari manusia, mobil, dan sepeda motor yang meramaikan Ajibata, laksana di alam lain rasanya di sana. Kami bertiga sungguh dibuai olehnya.
Jalan untuk mobil-sepeda motor hanya sampai titik yang tak jauh dari kedai. Menjelang ujung lintasan itu kami bersua dengan penduduk setempat dan sempat menapak bersama ke arah serupa. Berpakaian resmi, mereka ternyata baru pulang melayat dari Sijambur, Ajibata, dengan naik angkot sewaan.
Seorang kerabat mereka sesama orang dari Horsik, boru Siallagan (mertua Robin Sirait), berpulang dan sorenya akan di makamkan di Sijambur. Kami betukar kata dengan mereka. Ramah dan santun pembawaannya.
“Nanirimpu do nangkiningan halak Barat hamuna’ [kami kira tadi kalian Bule],” ucap seorang dari mereka setelah tahu keluarga kami berasal dari Pagarbatu, Ajibata dan menginap di sana. Ujaran yang membuat kami tergelak.
“’Halak Barat na melus do maksud muna ‘[Bule yang kere, maksudnya]?” jawabku dengan berseloroh.
Mereka tertawa.
JAHIR HORSIK
Horsik berperairan dalam. Airnya yang biru kehijauan, jernih. Saat diriku masih kanak-kanak dan remaja, kampung ini terkenal dengan ‘jahir’ [ikan mujahir]nya yang istimewa.
Hidup bebas di habitat sehat kaya nutrisi alami (bukan pelet), ukurannya lebih besar dari rata-rata. Dagingnya yang ‘pir’ [keras-padat] gurih sehingga tetap lezat diolah dengan cara apa saja.
Dimasak kuning [‘arsik’], ya sedap. Digoreng agak kering atau empuk juga nikmat. Bisa dibalado atau dengan sambal terpisah. Tapi, menurutku, yang paling menerbitkan selera adalah manakala dimasak ‘tombur’ [dipanggang dan disuguhkan dengan sambal berunsurkan ‘rias’, ‘andaliman’ dan yang lain]. ‘Maknyuss’ betul rasanya.
‘Jahir’ [mujahir] horsik yang premium di masa itu selalu dinanti para pembeli di pelabuhan Tigaraja begitu tiba pagi hari. Biasanya jumlahnya terbatas. Para pemilik kedai nasi dan restoran di sekitar Parapat dan Tigaraja menjadi pengincarnya. Beberapa rumah tangga yang berselera baik juga menjadi pembeli tetapnya.
Setelah keramba milik perusahaan Swiss bernama Aquafarm Nusantara—kini telah menggunakan merek Regal Springs—dan kepunyaan perusahaan lain serta perorangan meramaikan sekaligus menghancurkan secara sistematis Danau Toba sejak beberapa dekade ini pun, ‘jahir’ Horsik masih tetap berada di hati kalangan tertentu di sekitar Parapat-Ajibata. Diriku termasuk pecinta fanatiknya hingga detik ini.
Setahun lalu aku, bersama seorang adik yang lain yakni Maradop Hatigoran Sirait, juga berekspedisi ke Horsik dengan menapak. Ihwal nasib terkini ‘jahir’ dan ikan lain di sana kami percakapkan juga dengan beberapa penduduk setempat. Inti ujaran mereka adalah masa kejayaan ‘dengke jahir’ lokal berlalu sudah sejak Aquafarm mengenalkan ikan nila (merupakan sepupu mujahir; ukurannya lebih besar) di ‘Tao’ [danau] Toba. Prihatin juga diri ini mendengarnya.
Regal Springs (a.k.a Aquafarm) selama beberapa dasawarsa ini saban hari menumpahkan tak kurang dari 100 ton pelet ke ‘Tao’ Toba. Bisa kita bayangkan seperti apa skala industrinya. Belum lagi pemain lain: korporasi dan perorangan.
AKAN KEMBALI
Tahun lalu itu, sebelum pulang ke Ajibata dari Horsik kami berdua menjambangi dan bercengkrama dengan Jhonny Siallagan. Dia temanku sewaktu di SMP Negeri Parapat dan di SMA Pembangunan Parapat (sejak 1980 berstatus negeri). Kami menumpahkan rindu yang dipendam puluhan tahun, kala itu. Reuni berdua, kata lainnya.
Langsing dan murah senyum, anak Horsik ini sejak kelas 1 SMP menetap di rumah pamannya, Mandur Susa Siallagan (Aman Rosmi ) di Siburakburak. Jadi, kami ‘mardongan sahuta’ (sekampung) selama di sana.
Jhonny yang ternyata ‘marboru Jawa’ [beristrikan perempuan Jawa] memboyong pulang keluarganya ke Horsik tak lama setelah (kalau ingatanku tak keliru) prahara politik menyusul ketumbangan Presiden Soeharto (Mei 1998). Untuk selanjutnya mereka menetap di sana.
Kemarin aku menjambangi Jhonny. Ternyata dia masih di Sijambur. Sebelum kembali ke Ajibata salam kutitipkan ke sang istri. Kukatakan bahwa kelak diriku akan kembali lagi ke Horsik.
Tempat yang satu ini memang sangat kusuka. Ya, kalau tak ada aral melintang diriku pasti akan datang lagi.