Merawat Danau Toba

Hentikan Segera Pelanggaran HAM dan Pembodohan di Kawasan Danau Toba!

Ketua Umum YPDT Maruap Siahaan (foto: P Hasudungan Sirait/Batak Nature)
Ketua Umum YPDT Maruap Siahaan (foto: P Hasudungan Sirait/Batak Nature)

Oleh: Maruap Siahaan, Ketua Umum YPDT*

JAKARTA, Batak Nature: Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT),  sudah berumur 27 tahun. Perayaannya pada 17 Agustus kemarin. Memang, Pak Profesor Midian Sirait dan kawan-kawannya sesama pendiri telah menjadikan ulang tahun emas Indonesia sebagai momen untuk menyatakan kehadiran lembaga ini.

Tepat pada10 Desember di hari hak azasi manusia (HAM) sedunia, kita berhimpun di Klub  Eksekutif Persada, Halim Perdanakusuma, ini dari siang hingga malam untuk melangsungkan sejumlah kegiatan yang saling berkaitan. Mata acaranya utamanya adalah seminar bertopik “Peran Negara Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Kawasan Danau Toba yang Berkeadilan dan Berkearifan Lokal” serta pelantikan pengurus YPDT masa bakti 2021-2026.

YPDT berkegiatan istimewa  tepat di hari HAM sedunia sekarang tentu bukan kebetulan melainkan hasil perencanaan matang. Momen ini sengaja dipilih untuk mengingatkan khalayak luas di saat yang tepat bahwa di kawasan Danau Toba pun pelanggaran HAM masih saja marak hingga detik ini. Korbannya? Terutama warga setempat yang menolak dan menentang kesewenang-wenangan kekuasaan besar yang terus-menerus menggagahi alam. Mereka ini ada yang terusir kemudian dari tanah leluhurnya. Ada pula yang dianiaya dan bahkan dipenjarakan.

Pengurus baru YPDT periode 2021-2026 (foto: Batak Nature)

Hal yang yang sangat bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM yang diumumkan Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948, tentu. Sebab, isi deklarasi yang berlaku sejagat ini antara lain: 

Pasal 3: Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan,  dan keselamatan sebagai individu.

Pasal 12: Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini.

Pasal 17:  (1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan (2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena.

Pasal 22:  Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara.

Korban kesewenang-wenang yang paling banyak dari pelaku yang sama di kitaran Kawasan Danau Toba adalah warga yang tidak bisa lagi menikmati karunia alam yang tadinya sangat luar biasa. Jadi, kaum mayoritas. Hutan dan danau  di kawasan telah puluhan tahun dihancurkan. Imbasnya  ke mana-mana termasuk. Selain flora dan fauna, manusia juga  terdampak. Asupan bergizi tinggi yang menyehatkan tubuh dan pikiran semakin sulit saja didapatkan di sana. Jadi, sudah beda betul dibanding masa kanak-kanak dan remaja Profesor Midian, Profesor  Payaman Simanjuntak, dan senior lain di sana.

Pembiaran terjadi termasuk oleh negara.  Bahkan yang terakhir ini terkesan berkompromi kalau bukan berkolusi. Tidak ada bedanya dari  zaman Orde Baru yang 32 tahun. Sebuah ironi besar! Inilah yang sangat merisaukan dan menggalaukan YPDT sekian lama.

Warga Natumingka mempertahankan tanah dari TPL (foto: Mongabay)

Lantas, apa yang sekarang mesti dilakukan YPDT? Sebelum menjawab ini ada baiknya kita membalik kembali lembaran-lembaran sejarah. “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!”  Singkatan  ucapan yang terkenal dari proklamator Indonesia, Bung Karno, adalah ‘jas merah’. Ya, betul: kita tak boleh melupakan sejarah agar tak sampai salah arah.

YPDT lahir dari keprihatinan sekelompok kaum terdidik melihat keadaan Danau Toba yang kian payah dari tahun-tahun terutama akibat eksploitasi alam yang sudah menjurus ke penggagahan atau pemerkosaan. Pelakunya terutama adalah PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang mulai beroperasi di Sosor Ladang, Porsea, pada 1988.  Sekarang korporasi yang dimiliki taipan Tan Kang Hoo (Sukanto Tanoto) ini menggunakan nama PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Prof. Dr. Midian Sirait, Ir. Sarwono Kusumaatmaja, Jend. TNI (Purn.) M. Panggabean, Mayjen TNI (Purn.) A.E. Manihuruk, Drs. Inget Sembiring, Mayjen TNI (Purn.) Haposan Silalahi, Letjen TNI (Purn.) Raja Inal Siregar, Dr. Ir. H. Akbar Tanjung, Drs. Christian Tumanggor, Brigjen TNI (Purn.) Marjans Saragih, Sarman Damanik, S.H., Mayjen TNI (Purn.) R.K. Sembiring Meliala, Jansen H. Sinamo, Dr. Master P. Tumanggor, Prof. Dr. Payaman Simanjuntak, Prof. Dr.-Ing K. Tunggul Sirait, dan beberapa tokoh nasional lain kalangan yang terusik dan kemudian tergerak itu.

Mereka lantas merancang haluan dan strategi perjuangan YPDT. Dalam rumusan yang dihasilkan,  ditegaskan bahwa tujuan keberadaan organisasi ini adalah mengusahakan agar kawasan Danau Toba pada suatu saat dapat dinyatakan sebagai sebuah world heritage (warisan dunia) sehingga pelestarian dan pengembangannya menjadi perhatian masyarakat nasional dan internasional. Mengajak khalayak luas agar terlibat dalam pelestarian, itu mesti dilakukan.

Disebutkan juga bahwa sasaran YPDT ada 3 yaitu: (1) Memelihara kuantitas air danau yang secara langsung ditentukan oleh kelestarian hutan-hutan di daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba); (2) Menjaga kualitas air danau dengan mencegah segala macam polusi baik yang disebabkan oleh limbah manusia maupun industri (pertanian, restoran, hotel, pabrik, dsb.); dan (3) Mengusahakan agar masyarakat setempat menjadi pelaku aktif sehingga dapat diposisikan sebagai pemanfaat utama dari program-program pelestarian dan peningkatan mutu lingkungan Danau Toba).

Intensitas demo anti PT TPL terus meingkat (foto: Liputan 6)

Para senior yang merupakan pendiri YPDT telah bekerja keras agar organisasi kita ini senantiasa bergerak di jalur yang semestinya. Pada kesempatan yang baik ini  saya kira kita perlu mengenang dan mengapresiasi jasa mereka.

Saya diberi kepercayaan memimpin YPDT untuk kali pertama pada periode 2016-2021. Kami para pengurus kemudian menajamkan serta melengkapi haluan dan strategi perjuangan organisasi ini. Tujuannya tentu agar lebih menyahuti semangat zaman.

Salah satu yang menjadi bahan pertimbangan kami adalah Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  menetapkannya   pada  13 Agustus 2014.  Sedikit catatan penting tentang regulasi yang satu ini.

Di Pasal 4 regulasi ini disebutkan bahwa  Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba berfungsi sebagai pedoman untuk: a. Penyusunan rencana pembangunan di Kawasan Danau Toba; b. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten di Kawasan Danau Toba; c. Perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten, serta keserasian antarsektor di Kawasan Danau Toba; d. Penentuan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di Kawasan Danau Toba; e. Pengelolaan Kawasan Danau Toba; dan f. Perwujudan keterpaduan rencana pengembangan Kawasan Danau Toba dengan kawasan sekitarnya.

Sedangkan dalam Pasal 7 dikatakan bahwa kebijakan penataan ruang Kawasan Danau Toba meliputi: a. Pemertahanan kestabilan kuantitas dan pengendalian kualitas air Danau Toba; b. Pelestarian ekosistem penting perairan danau dan sekitarnya; c. Pelestarian kawasan kampung dan budaya masyarakat adat Batak; d. Pengembangan dan pengendalian pemanfaatan kawasan pariwisata berkelas (high-end) dan kawasan pariwisata massal yang berdaya tarik internasional, nasional, dan regional yang adaptif terhadap bencana alam; e. Pengendalian kawasan budi daya perikanan danau; f. Pemertahanan kawasan pertanian tanaman pangan untuk ketahanan pangan; g. Pengendalian kawasan budi daya peternakan, hortikultura, dan perkebunan berbasis masyarakat dan ramah lingkungan; dan h. Perwujudan kerja sama pengelolaan dan pemeliharaan kualitas lingkungan hidup, pemasaran produksi kawasan budi daya, dan peningkatan pelayanan prasarana dan sarana antar wilayah.

Di Pasal 5 RTR ini disebutkan bahwa  Kawasan Danau Toba mencakup  Badan Danau, daerah tangkapan air (DTA),  dan cekungan air tanah (CAT)  yang terkait dengan perairan danau. Pula, pusat kegiatan dan jaringan prasarana yang tidak berada di badan danau, DTA, dan CAT namun  terkait dengan dan  mendukung pengembangan perairan danau.  Badan danau yang dimaksud dikelilingi oleh 7 kabupaten dan 28 kecamatan.

Buku sejarah YPDT (foto: P HasudunganSirait/Batak Nature)

Adapun haluan dan dan strategi perjuangan YPDT yang kami rumuskan seperti berikut ini garis besarnya.

Visi : Kawasan Danau Toba menjadi kota berkat di atas bukit”. Dalam Bahasa Inggris: The Lake Toba Area will become the paradise city on the hill.

Misi : Berperan aktif sebagai partner strategis pemerintah dan stakeholders lainnya untuk memastikan terlaksananya implementasi Rancangan Pengembangan Kawasan Danau Toba  sebagai kawasan adat dan budaya Batak, sehingga berkontribusi lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara.

Tujuan :

  1. Wadah partisipasi masyarakat luas (lokal, nasional, dan internasional) dalam pelestarian Danau Toba dan ekosistemnya.
  2. Menghimpun pemikiran, sumber daya, dan dana bagi usaha-usaha pelestarian Danau Toba dengan seluruh kekayaan dan warisannya.

Sasaran pokok:

  1. Melestarikan kuantitas air Danau Toba dengan menjaga tinggi permukaan danau pada kisaran 904 – 905 meter di atas permukaan laut (dpl).
  2. Melestarikan kualitas air Danau Toba sehingga tetap dapat dipergunakan bagi kehidupan masyarakat, sebagai sumber air minum, sumber energi, dan sebagainya.
  3. Melestarikan keanekaragaman hayati di kawasan Danau Toba.
  4. Mengelola kawasan Danau Toba dengan seluruh potensinya untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
  5. Mengembangkan kebudayaan masyarakat termasuk seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang menunjang pelestarian kawasan Danau Toba dan ekosistemnya.

Haluan dan strategi perjuangan ini perlu saya sebutkan kembali agar kita, terlebih masuk kawan-kawan dari angkatan yang lebih belia,  mengetahui dan mengingatnya untuk seterusnya.  

Ternyata, masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono sampai 20 Oktober 2014 saja. Mantan walikota Solo dan gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), yang menjadi penggantinya.

Presiden Jokowi menjadikan ekonom Rizal Ramli Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Indonesia terhitung sejak 12 Agustus 2015.

Melalui  penasihat hukumnya, Otto Hasibuan, Rizal Ramli kemudian meminta konsep otorita Danau Toba, ke YPDT. Lewat  pengacara senior dan kondang asal Pematang Siantar yang juga merupakan salah satu penasihat YPDT, rancangan pemikiran tentang Otorita Danau Toba kami serahkan ke sang Menko Maritim. Poin-poinnya sama dengan yang termaktub di tujuan YPDT.

Pertama, mempertahankan kualitas air. Setidaknya, airnya layak untuk diminum. Berati,  pencemaran danau mesti dihentikan semua.

Kedua, menjaga kuantitas air agar tetap 903-905 dpl. Berarti,  menjaga hutan yang merupakan reservoar di kitaran Danau Toba. Dulu ada 126 mata air; yang tersisa hanya puluhan. Sebab itu, tak boleh lagi membabati di sana-sini seperti yang dilakukan bertahun-tahun oleh Indorayon.

Ketiga, mempertahankan keanekaragaman flora dan fauna. Artinya, tak boleh lagi penebangan kayu hutan secara masif.

Keempat, mempertahankan  adat istiadat setempat termasuk kearifan lokalnya.

Kelima, menggunakan teknologi untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.

Di draf itu kami tegaskan bahwa pembangunan di kawasan Danau Toba harus bertujuan untuk memajukan masyarakat sekitar. Sebab,  merekalah stakeholder utama. Basis pembangunan adalah budaya dan kearifan lokal. Pengembangan pariwisatanya  pun demikian.

Ternyata, masa ke-Menko-an Rizal Ramli hampir setahun saja. Pada 27 Juli 2016 ia sudah digantikan oleh Letnan Jenderal (purnawirawan) Luhut Binsar Panjaitan.

Hadirin sekalian yang saya hormati dan muliakan.

Pada 1 Juni 2016 Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengeluarkan   Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otoritas Pengelola Kawasan Wisata Danau Toba.  Dinyatakan di sana bahwa kebijakan ini merujuk Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya.

Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba yang selanjutnya disebut Otorita Danau Toba, menurut Perpres ini, dibentuk untuk melaksanakan pengembangan kawasan pariwisata Danau Toba sebagai kawasan strategis pariwisata nasional. 

Event F1H2O Power Boat akan digelar pada Februari mendatang (foto: BPODT)

Bertanggung jawab kepada presiden, badan ini terdiri dari Dewan Pengarah dan Badan Pelaksana. Artinya, yang pertama menjadi semacam dewan komisaris sedangkan yang kedua dewan direksi.

Dewan Pengarah berunsurkan: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (ketua merangkap anggota),  Menteri Pariwisata (ketua pelaksana harian merangkap anggota),  Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan/ Kepala  Bappenas,  Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan,  Menteri PUPR, Menteri Perhubungan,  Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Ketenagakerjaan,  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,  Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Sekretaris Kabinet, dan  Gubernur Sumatera Utara.

Dari lapangan yang saling berkait unsur Dewan Pengarah ini. Orang-orangnya pun serba powerfull. Dengan demikian secara teoritis mereka tak akan kesulitan menetapkan kebijakan apa pun dan mengawasi eksekusinya. 

Sumber dana Otorita Danau Toba adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD), dan yang  lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Otorita mengurusi seluruh wilayah yang disebut dalam Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Termasuk  kawasan seluas paling sedikit 500 hektar yang akan diberikan hak pengelolaannya kepada mereka. Yang terakhir ini tak ada dalam draf yang kami susun. Entah dari siapa ide ini.

Dengan kewenangan besar seperti yang digariskan di Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016,  Otorita Danau Toba bisa berbuat banyak untuk memajukan kawasan. Nyatanya tidak demikian; jauh panggang dari api.

Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) yang dipimpin Dirut Ari Prasetyo dilantik pada November  2016. Ternyata tak banyak hal yang bisa mereka lakukan kemudian. Kendalanya, seperti yang pernah diungkapkan oleh seorang direkturnya saat curhat, anggaran mereka seret. Dana APBN, APBD, dan yang lain yang disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tak mengucur seperti yang diharapkan. Akibatnya, jangankan untuk membangun infrastruktur, menjalankan fungsi koordinator pun mereka kesulitan.

Tak seperti yang digariskan dalam Peraturan Presiden, kenyataannya  yang mereka urusi bukan seluruh kawasan Danau Toba (7 kabupaten yang mencakup 28 kecamatan). Mereka cenderung berkosentrasi pada lahan konsesinya di kitaran Sibisa, Kecamatan Ajibata,  yang berluas sekitar 500 hektar.

Perubahan cakupan kawasan memang dimungkinkan oleh Peraturan Presiden. Tapi, ada syaratnya yaitu ditetapkan oleh presiden berdasarkan pengajuan Dewan Pengarah BODT. Mungkinkah dengan maksud tertentu Dewan Pengarah BODT yang diketuai Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan telah mengutak-atik peruntukan sehingga tak lagi mencakup seluruh kawasan Danau Toba? Entahlah.

BODT berencana menghadirkan Toba Caldera Resort di Sibisa. Modelnya seperti yang di Nusa Dua, Bali. Unsurnya termasuk hotel, fasilitas untuk MICE (meetings, incentives, conventions and exhibitions), rumah sakit, dan yang lain.  Untuk itu Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menerbitkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL)  seluas 279 hektar untuk BODT.

Sibisa serta-merta menjadi, meminjam istilah anak muda zaman sekarang,  hive. Investor datang untuk berburu lahan di sekitarnya. Di antara mereka ada yang telah membeli puluhan hektar kalau bukan ratusan hektar.

Konflik tanah adat di Sigapiton (foto: Tribun Medan)

Konflik dengan masyarakat kemudian terjadi. Pada Agustus 2020, misalnya, sejumlah warga Desa Pardamean,  Sibisa,  menolak untuk membongkar bangunannya di lahan yang sekarang telah menjadi bagian dari Zona Otorita Toba. Mereka menganggap tempat itu milik mereka sejak dulu.

Konflik agraria serupa juga terjadi di Motung yang berbataskan Sibisa.

Namun, konfrontasi yang jauh lebih keras berlangsung di Desa Sigapiton yang terletak jauh di bawah Sibisa. Warga kampung yang terletak di bibir Danau Toba ini menghadang dan menghalau alat berat yang masuk ke sana pada 12 September 2019. Dalam aksi unjuk rasa yang melibatkan sekitar 100 orang—kebanyakan perempuan—terjadi bentrokan. Sejumlah ibu-ibu dan nenek-nenek yang telanjang maju menghadapi aparat keamanan.

Direkam lewat kamera video, adegan ini disebarluaskan termasuk melalui media sosial. Viral pun terjadi. Kritik terhadap BPODT pun berpuncak. Banyak kalangan yang menuduh bahwa mereka cenderung jalan sendiri;  tak sudi melibatkan warga sekitar dalam perencanaan dan pewujudan konsep-konsepnya.

BPODT jelas bermasalah. Mereka cuma berfokus di Sibisa, bukan di seluruh kawasan Danau Toba. Lagi pula, tanah yang menjadi konsesinya sekarang, sekitar 500 hektar, masih belum clear and clean. Buktinya, penolakan atau gugatan dari masyarakat setempat  bermunculan.

Konsesi yang di Sibisa diberikan oleh pemerintah berdasarkan instrumen hukum yang masih bermasalah. Tanah komunal masyarakat (ulayat) telah dikonversi menjadi hutan negara. Itulah yang  diserahkan  ke BPODT. Padahal aspek legal formalnya belum tuntas. Rakyat setempat pun menolak untuk angkat kaki dari sana. Buntutnya adalah kriminalisasi. Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang menuai kontroversi itu penderitaan para korban di masa mendatang sangat mungkin akan semakin bertambah, Jelas, Ini merupakan pelanggaran HAM yang serius.  

The Caldera, wisata baru di Danau Toba (foto: Tempo)

Pada 29 Maret 2021, Jimmy Bernando Panjaitan resmi menggantikan Ari Prasetyo sebagai Dirut BPODT. Setelah sekitar 2 tahun kurang 3 bulan lampau, kinerja badan ini belum kunjung mencorong. Persoalan, termasuk yang berkaitan dengan aspek legal-formal kepemilikan tanah,  belum berkurang.

Organisasi kita, YPDT, telah 27 tahun berjuang untuk menyelamatkan Danau Toba. Lantas, apakah keadaan di danau kaldera terbesar sejagat ini telah membaik? Nyatanya tidak! Justru situasi bertambah parah.

Para perusak alam masih saja leluasa di sana. Mereka—PT Indorayon yang telah berganti jubah menjadi PT Toba Pulp Lestari; PT Aquafarm Nusantara (milik orang Swiss) yang kini telah mengenakan nama induknya, Regal Springs, tapi ditambah dengan kata ‘Indonesia’ di bagian akhirnya (menjadi Royal Springs Indonesia); PT Suri Tani Pemuka (STP, merupakan anak usaha Japfa Comfeed Indonesia yang menernakkan ikan di Danau Toba; PT Allegrindo Nusantara (perusahaan ternak babi Desa urung Pane, Kecamatan Purba, Simalungun); dan yang lain masih saja berkegiatan seperti sediakala. Seakan untouchable (tak tersentuh), mereka. Serupa halnya dengan para pelaku illegal logging yang beroperasi di banyak tempat di Sumatra Utara.

Keadaan lebih parah lagi karena perusahaan tambang Dairi Prima Mineral beroperasi  di Sopokomil, yang tak jauh dari Sidikalang. Food estate telah dibangun pula di kabupaten ini dan di Humbang Hasundutan. Semuanya pastilah berdampak ke kelestarian alam kawasan Danau Toba.

Demikian juga kegiatan PT Inalum. Korporasi ini  yang sangat mengandalkan air Danau toba yang sedang mengalir menuju samudra. Perusahaan plat merah ini masih beroperasi seperti biasa kendati permukaan air Danau Toba telah menyusut sampai 3 meter. Harus diingat bahwa air ini adalah bagian dari hak azasi, hak ekonomi, dan kehidupan penduduk setempat.

Jelas, pengelolaan kawasan Danau Toba di masa pemerintah sekarang lebih buruk dari masa Orde Baru. Pasalnya, pelaku perusak alam telah bertambah banyak.

Ini juga sebuah ironi besar sebab presiden, para menteri (termasuk Menko), dan pejabat tinggi negara lainnya kerap bolak-balik berkunjung ke sana. Pembangunan infrastruktur—jalan tol, jalan raya, jembatan, bandara, pelabuhan, dan yang lain—pun dilangsungkan atas nama kemajuan turisme.

Pula, yang lebih hebat lagi: Danau Toba telah dinyatakan sebagai salah satu destinasi pariwisata super prioritas (DPSP), bersama Borobudur, Mandalika (NTB), Labuhan Bajo (NTT), dan  Likupang (Sulut). Wacana ini muncul sejak 2019.

Kunjungan pembesar negara yang intens serta pembangunan infrastruktur, ditambah dengan pembentukan opini yang berlangsung sistematis dan efektif (lewat rekayasa informasi) telah menggiring khalayak luas ke sebuah titik kesimpulan yaitu: pemerintah sekarang memang sungguh-sungguh hendak mem-Bali-kan Danau Toba  di lapangan pariwisata.

Kota wisata Parapat tengah merias diri; pembangunan infrastruktur pun terus berjalan (foto: P Hasudungan Sirait)

Muncul pula pendapat bahwa kawasan ini telah diuntungkan oleh perusahaan-perusahaan perusak alam, selain oleh infrastruktur yang baru dihadirkan oleh negara. Yang pertama ini tentu saja mitos belaka. Kami pernah menghitung bahwa kontribusi PT Aquafarm ke Republik Indonesia cuma sekitar 3% saja dari biaya kerusakan alam yang ditimbulkannya.

Indorayon alias Toba Pulp Lestari pun setali tiga uang. Mereka pernah menyatakan rugi. Akibatnya, tak perlu membayar pajak ke negara. Sebuah akal-akalan yang luar biasa, bukan?

Pembodohan dan pelanggaran HAM di kitaran kawasan Danau Toba sudah berlangsung puluhan tahun.  Atas nama akal sehat dan kemanusiaan, semua itu harus segera kita akhiri. Saya kira, itulah agenda kerja terpenting bagi pengurus YPDT periode 2021-2026 yang dilantik hari ini.

Akhir kata, marilah kita bahu-membahu dan bekerja keras untuk menyelamatkan kawasan Danau Toba tercinta.

*Tulisan merupakan pidato Ketua Umum YPDT yang disampaikan di Jakarta pada 10 Desember 2022