PARAPAT, BatakNature: Tadi, di tengah hiruk-pikuk Tigaraja pada hari pasaran utama tiba-tiba kami bersua. Ia menapak dengan santai. Gayanya laksana turis bule yang akan menyeberang ke Pulau Samosir.
Bersandal kulit, beroblong tanpa lengan, dan bercelana kargo mirip standar pasukan Amerika. Matanya dilindungi ‘reben’ [kacamatan penangkal sinar]. Jemari kirinya menggenggam dua tangkai cangkul baru. Pastilah dia baru usai berbelanja. Kami lantas bertukar kata sembari melepas rindu.
Selama ini ia bermukim di Hamburg, Jerman. Tapi begitu musim dingin tiba biasanya ia akan pulang kampung ke Ajibata yang bertetangga dengan Tigaraja dan Parapat. Sebaliknya, manakala Eropa sudah hangat kembali ia pun pulang.
‘Paragat’—artinya: orang yang pekerjaannya mengambil tuak dari pohon enau—begitu sebutan dirinya di kitaran Parapat, sejak tahun 1970-an. Pasalnya? Ia acap dan pandai membawakan tembang yang lirik awalnya “traktaktaktaktaktaktak….[bunyi alat yang sedang memukul pohon enau].
Ia memang biduan terkemuka sejak masa Koes Plus, The Mercy’s, Panbers, D’lloyd, The Rhytmn of King’s, dan yang lain merajai blantika musik pop Indonesia. Cuma, kelas dia tidak nasional melainkan kitaran Danau Toba saja.
Pulang Kampung [foto: P Hasudungan Sirait/BatakNature]
Anggiat Napitu, nama dia sesungguhnya. Seperti halnya Van Royen Sirait, kawan yang kemudian menjadi kerabat, ia anak Ajibata. Sejak masih remaja dia telah gemar bersenandung. Suaranya apik. Tinggi dan lembut. Ia mulai diperhitungkan sebagai penyanyi di kota kecil kami setelah bergabung dengan vokal grup.
GRUP TERKEMUKA
Di paruh pertama tahun 1970-an, untuk kali pertama di Parapat muncul sebuah kelompok penyanyi-musisi yang rutin menghibur tetamu di hotel. Vokal Group Hotel Parapat, begitu namanya. Personil awalnya seingatku antara lain Jules Ambarita, Alim Sirait—‘amanguda’ [paman] langsung musisi-biduan terkemuka Tongam Sirait—Lursen Sipayung, Sakkan Hubarat, dan Risma Simangunsong.
Belakangan, junior mereka yang bernama Iran Ambarita pun merapat. Kiprah adik kandung Jules ini kelak menasional setelah hijrah ke Jakarta dan bersekutu dengan orang Parapat lainnya—Charles Simbolon dan Tua Doren Situmorang—di bawah panji Trio Amsisi [akronim dari Ambarita, Simbolon, Situmorang].
Seperti namanya, tentu saja kelompok ini bekerja untuk Hotel Parapat. Penginapan utama milik negara yang bangunannya sudah mengada sejak awal 1930-an. Pada dekade 1970-an tersebut tempat ini dimanejeri seorang indo. ‘Oom’, begitu kami, orang Parapat, menyebutnya. Namanya adalah Folentinus. Sebelum dan sesudahnya ia lama menakhodai penginapan berlokasi di Marihat yang berjejaring dengan Natour.
Vocal group terkenal dari Parapat [foto: FB Paragat]
Hotel Parapat yang mempelopori. Hotel lain: Danau Toba, Atsari, Tarabunga, dan dan yang lain lantas mengikuti. Tak mau kalah, tentu.
Masih di dekade pertama ’70-an itu, Anggiat Napitu berhimpun dengan Hotel Danau Toba International Vokal Group (VG) yang dimotori John Liat Samosir. Berjulukan ‘Si Bunga Nabontar’ ayahanda musisi-biduan Ranav Samosir ini bersuara tinggi dan bisa mengglegar. Gemar memang dia membawakan lagu ciptaan Godman Ambarita (kakak kandung Jules dan Iran) yang judulnya sama.
Prestise Hotel Danau Toba VG bisa disejajarkan dengan Hotel Parapat VG. Tak heran, tentu. Soalnya di sana ikut berhimpun anak Tigaraja bersuara sangat tinggi: Charles Simbolon. Diperkuat pula oleh Victor Sinaga, Van Royen Sirait, dan yang lain.
Entah apa yang terjadi, sejumlah personil Danau Toba VG kemudian mengibarkan benderanya sendiri. Ambaroba VG, namanya. Tak jelas mengapa nama burung yang cantik yang mereka pakai. John Liat Samosir, Charles Simbolon, Anggiat Napitu, Victor Sinaga, dan Van Royen Sirait, unsurnya.
Meski pernah bercakap beberapa kali dengan Amani Fiona (Van Royen) ihwal perjalanan karir musik dia dan koleganya, tak tahu aku apakah mereka ini pernah bongar-pasang personil. Yang pasti sempat rekaman. ‘White Flower’ [terjemahan dari ‘Bunga Nabontar’] antara lain albumnya.
Pula, entah karena apa Ambaroba pun kandas. Tanpa John Liat, yang lain meneruskan karir dengan menggerek panji Sibigo (nama burung molek nan mungil). Formasinya tak satu untuk selamanya. Seperti yang tampak di foto-foto di atas, pada satu masa unsurnya adalah Anggiat Napitu, Victor Sinaga, Hasoloan Rumahorbo (Solo), dan Charles Simbolon. Perhatikanlah potret-memikat mereka yang tampaknya berlokasi di sisi Istana Presiden, Parapat.
Pada foto lain sudah ada Van Royen Sirait.
Solo menjadi idaman gadis-gadis kitaran Parapat sebab masih menyandang predikat ‘anak Baddung’ [sebutan kami untuk Bandung di masa itu]. Namanya sangat harum sebab baru saja pulang setelah sekian lama merantau termasuk di tanah Parahiangan.
Sesungguhnya, anggota Sibigo lainnya juga serba ‘good looking’ termasuk Paragat. Foto-foto di atas menjadi bukti sejarah bahwa dari segi gaya mereka tak kalah dibanding anak-anak Koes Plus, The Merccys, dan yang lain sekalipun. Untuk ukuran sekarang pun potongan rambut, pakaian pembalut tubuh, sepatu, dan wajah mereka masih saja terbilang ‘paten kali’.
Pastilah awak vokal grup Parapat lainnya yang sezaman tak kalah potongan. Foto-foto yang pernah diposting ‘Lae’ Iran Ambarita di Fb buktinya. Wajar saja sebab mereka ini memang pernah juga berkiprah di negeri jiran.
Sibigo bernas. Di foto ini ada album ke-4 mereka yang dirilis oleh perusahaan terkemuka di Sumatra di masa itu: Mini. Kemungkinan setelahnya mereka masih masuk lagi ke dapur rekaman.
Semua ada masanya, termasuk sederet vokal grup yang sekian lama berjaya di sekeliling Parapat dan kawasan Danau Toba lainnya.
Seperti sejawatnya—Charles Simbolon dan Viktor Sinaga—Paragat kemudian meninggalkan Parapat. Anggiat Napitu yang merupakan putra ‘Amangboru’ bersebutan Si Aji (di Ajibata rumah kami dulu berhadapan) bertolak ke Jerman dan menetap di negeri panswer hingga puluhan tahun. Di sana ia masih terus bermusik-menyanyi. Memang, itulah jalan hidup yang dipilih dan dijalaninya secara konsisten. Luar biasa, tentu!
Ah, persuaanku dengan Si Paragat yang sedang mudik dari Hamburg di jantung Tigaraja siang tadi seketika mengembalikan ingatanku ke masa lalu yang sangat jauh. Rasanya masih seperti kemarin saja semuanya. Tanpa membuang waktu, kisah ini pun langsung kutulis sebagai bentuk pertanggungjawaban sejarah.
Terimakasih banyak, ‘laek’ku untuk percakapan singkat kita tadi. Semoga kita bisa bersua lagi di mana pun itu; tidak mesti di ‘pokkan’ Tigaraja.
*Catatan:
Foto-foto dari era kejayan vokal grup di Parapat kuambil dari postingan ‘Lae’ Paragat. Sisanya, jepretanku siang tadi.