AJIBATA, BatakNature.com: ‘Encik’ [kata Melayu] sebutan kami di masa itu untuk guru yang jenis kelaminnya perempuan. Adapun yang lelaki, sapaannya ‘guru’ saja. Guru Tindaon, misalnya. Atau Guru James.
Encik Ranap. Begitu kami menamainya. Ia mengajar kami saat kelas 3 di SD Negeri 2 Parapat. Kala itu, pada penggal pertama 1970-an, terdapat 4 sekolah dasar di kota-wisata kecil ini. Taman kanak-kanak belum ada. Bila sudah cukup umur dan mampu menggapai kuping kiri dengan tangan kanan—atau sebaliknya—seorang bocah akan diterima di SD. Aku sendiri berumur 5 tahun saat masuk SD. Masih buta huruf dan angka.
SMP cuma satu di sekitar Parapat-Ajibata kala itu. Sedangkan SMA dan yang sederajat tiada. Begitupun, perguruan tinggi sudah eksis. Namanya Seminari Tinggi Parapat. Lembaga yang dijalankan ordo Kapusin ini dalam sejarahnya yang cukup panjang (sedari 1 Agustus 1958) menghasilkan sejumlah uskup selain pastor biasa.
Sewaktu di kelas 1, SD 2 (begitu sebutannya) memiliki 2 kelas. Murid bergantian sekolah pagi dan siang saban seminggu. Namun, sejak kelas 2 hingga 6 yang ada cuma satu kelas saja. Kemungkinan besar penggabungan yang terjadi selepas kelas 1.
Guru yang mengajar dari kelas 1 hingga 5 seorang belaka. Seingatku mereka, selain Encik Ranap adalah Encik Aman (boru Sinaga; guru kelas 1 ini mengesankan diriku berkat kepiawaiannya mengajar terlebih di 3 lapangan: baca-tulis, nyanyian kanak-kanak, dan berhitung), Encik Manurung, Encik Mili (boru Sinaga), Encik Situmorang (Nan Tagor), dan Encik Samosir (guru kelas 5).
Di kelas 6 pengajar kami menjadi banyak yakni Guru Tindaon, Guru F. Sinaga, Guru Silalahi, dan Guru Tanggang (Sigalingging). Jam pelajaran mereka bergantian. Di antara semua, Guru Tindaon-lah favorit kami. Warga Sosor Mangadar, Tigaraja, ini lembut serta pandai menerangkan dan berkisah. Pula, ayah Darmayanti (kawan sekelasku) piawai menggambar dan menulis dengan pendekatan kaligrafi.
Jika ada pengajar yang berhalangan, biasanya sang kepala sekolahlah yang menggantikan. Dia adalah Guru James [baca: James; bukan Jems]. Adiknya, Guru Letjen (Jaendar Sirait) merupakan guru kesenian kami kelak di SMP Negeri Parapat.
Encik Ranap yang jenaka (foto: P Hasudungan Sirait/BatakNature.com)
Guru James yang dikenal juga sebagai Amani Hotdi berwibawa besar dan pintar mengajar. Saat menerangkan pelajaran sejarah, umpamanya, lelaki bertubuh tinggi-besar dan bersuara mengglegar menggunakan jembatan keledai sehingga kronologi peristiwa penting menjadi serba benderang dan bisa melekat di benak siswa sampai sekian tahun berselang. Pelajaran berhitung pun dibuatnya lebih gamblang dan mudah ditangkap otak.
Di masa kepemimpinannya yang puluhan tahunlah sekolah kami menjadi yang terbaik sekota. Alhasil, predikat ‘teladan’ melekat pada lembaga yang lokasinya bersebelahan dengan gereja HKBP Parapat.
Adapun Encik Ranap, sebagai guru boleh dikatakan ia bukan pengajar yang cemelang. Begitupun, ia memiliki kelebihan yang tak akan dilupakan oleh kami yang pernah didiknya. Bersuara agak keras, ia pribadi yang hangat dan ‘parlawak’ [jenaka]. Setahuku, ia tak akan ‘manggotil’ [mencubit] murid; apalagi menjewer atau menampar. Kalau kami berisik ia paling berseru, “Ei….jangan ribut!” sembari menepuk-nepuk meja dengan sebelah tangan.
Sebagai catatan, mengerasi siswa—termasuk ‘mamilos’ [mencubit sembari memutar] dan memukul kuku kedua tangan sekaligus atau bergantian dengan belebas kayu yang panjang—masih merupakan sesuatu yang jamak dilakukan guru di Sumatra dan pulau lain di negeri kita pada zaman itu. Di Papua, misalnya, kisah anak yang dilempar ke luar lewat jendela oleh pengajar beberapa kali kudengar saat bernostalgia dengan anak-anak bumi cendrawasih. Di Pulau Jawa saja pendekatan kekerasan terhadap anak didik telah kian dihindari para pengajar.
‘SI BUNGA NA BONTAR’
Siang kemarin, saat bercakap dengan Untal Silalahi, Tourisme Simanjuntak, Ani Lumbantoruan, Korbina Sirait, Elly Erosa Sirait, Maradop Hatigoran Sirait, James Lovel Sirait (4 yang terakhir ini saudara kandungku), mendadak Encik Ranap muncul. Di usia yang sudah 82 tahun ia belum bertongkat. Langkahnya masih mantap dan penampakannya bugar.
Dia pangling sehingga masing-masing kami yang sedang mudik dari Pulau Jawa—Korbina, James, dan diriku—perlu mengenalkan diri. Seketika ingatannya kembali.
“Ndang hutanda be nangkiningan bah [tak kukenal lagi tadi, lho],” ucapnya dengan mimik lucu sebaik aku menjabat tangannya sembari menyebutkan nama dan anak ke berapa. Sebelas dari 12 orang kami yang seayah-seibu pernah menjadi muridnya. Tak terkecuali si sulung, Kak Korbina.
(foto: P Hasudungan Sirait/BatakNature.com}
Kami yang semeja di kedai yang terletak di sebelah rumah besar berlantai 3 milik Parjimlet—Aman Lasang Simangunsong ini bersama NO Purba (Aman Riana) dan Pak Jiseng (juragan restoran Singgalang) merupakan yang terkaya se-Parapat di masa kami—adalah anak Siburakburak yang merupakan tetangga dan anak didik Encik Ranap. Demikian juga Sarido Ambarita dan Indra Aritonang (putra Encik Aman) yang duduk di seberang. Berhimpun bersama para jiran kekinian, kami tengah menghadiri prosesi pemakaman orang tertua se-Siburakburak (berumur 93 tahun): ‘Ito’ Nan Sondang (Tiurlan Silalahi; istri almarhum Guru Mars Manik).
Persuaan dengan guru kami yang baik hati seketika mengembalikan ingatanku siang itu pada sejumlah hal sekaligus. Masa-masa bersekolah di SD 2 Parapat dan kebersamaan yang asyik dengan para ‘hombar jabu’ [tetangga] di Siburakburak, tentu saja. Juga pada keluarga sang ‘encik’ sendiri.
Encik Ranap bersuamikan pria gagah bertampang agak sangar. Dikenal sebagai jagoan di masa belianya, orang itu biduan bersuara tinggi dan ‘powerfull’. Jhon Liat Samosir namanya. Sebutannya ‘Si Bunga Na Bontar’ [Si Bunga Putih] sebab ia acap melantunkan lagu ciptaan Godman Ambarita (abang kandung musisi-komposer Iran Ambarita dan seniman-mantan wartawan Sarido Ambarita) yang judulnya demikian.
Bersama Charles Simbolon dan yang lain, Jhon Liat pernah berjaya lewat Vokal Grup Hotel Danau Toba Parapat, Vokal Grup Sibigo, dan Vokal Grup Ambaroba. Charles sendiri kemudian hijrah ke Jakarta dan bersekutu dengan 2 anak Parapat lainnya—Iran Ambarita dan Tua Doren Situmorang—membentuk Trio Amsisi yang termashyur.
Belakangan, Charles yang suaranya tinggi betul berkiprah lewat Trio Ambisi yang dibangunnya bersama 2 sejawat asal Parapat: Andi Situmorang dan Joe Harlen Simanjuntak. Andi merupakan adik kandung Tua Doren (sudah almarhum).
(foto: P Hasudungan Sirait/BatakNature.com)
Tak seperti Charles Simbolon (telah berpulang juga), Jhon Liat bermukim di Parapat hingga akhir hayatnya. Ia sempat mengurusi keamanan feri KM Tao Toba milik pengusaha Jakarta, Binur Sitanggang. Jejaknya di sana dilanjutkan oleh putranya yang tinggi-besar, Togi.
Anak John Liat yang menonjol di dunia musik ada juga. Jadi, tak jauh buah dari pohonnya. Ranav Samosir namanya dikenal oleh khalayak sekarang, ia adalah si anak sulung. Dua tingkat di bawahku saat masih di SD 2 Parapat, dia kemudian menjadi bagian generasi awal musisi-penyanyi kitaran Parapat yang berkiprah di Bali-Lombok. Tradisi kaum muda hijrah dari kampung kami ke kedua pulau di sebelah Jawa Timur itu untuk menjadi musisi-penyanyi masih berlanjut hingga kini.
Setelah bertahun-tahun lampau, Ranav berpaling ke Ibukota. Di tanah Betawi musik tetap menjadi dunianya. Sebagai bagian dari komunitas awal Gang Potlot, tentu saja ia berkarib dengan personil Slank angkatan perdana dan yang sekarang. Kabarnya, selain masih bergelut di dunia perstudioan dia juga berbisnis kafe.
Ah…gara-gara persuaan mendadak dengan Encik Ranap boru Sinaga kenangan lama diriku pun bermunculan dan itu kutuliskan kemarin saat maghrib hampir menjelang. Terimakasih banyak untuk guru kami yang hangat dan jenaka untuk segala kebaikan di masa lampau yang jauh.