JAYAPURA, Kalderakita.com: Tak sempat kusaksikan tadi malam pengumuman pemenang Udin ‘Award’, anugrah paling bergengsi di setiap ajang ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Soalnya, diriku masih dalam perjalanan dari Abepura ke Jayapura seusai menyampaikan materi teknik menulis ke kawan-kawan komunitas Sastra Papua, di Museum Lokabudaya yang berada di kampus Universitas Cendrawasih (Uncen).
Segera kuhidupkan Zoom setiba di penginapan. Ternyata sudah masuk ke acara pemberian SK Trimurti ‘Award’. Tubuh sebenarnya sudah lunglai karena baru saja usai mengajar hampir 5 jam di ruangan (bagian dari museum) yang tak berpendingin dan tak berfasilitas memadai. Begitupun, kusemangati diri. Rupanya berhasil.
Gairahku untuk mengikuti perhelatan ulang tahun AJI ke-28 tak surut. Untuk membakar semangat diri sendiri sesekali aku ikut berceloteh lewat Chat. Sampai bernyanyi bersama melantunkan nomor ‘Selamat Ulang Tahun’-nya Jambrud seselesai pemotongan tumpeng pun masih kusaksikan.
Tentu saja orasi yang menarik dan menyegarkan pikiran dari ‘Mas’ Ariel Heryanto—guru besar di School of Culture, History and Language, The Australian National University— kusimak dengan saksama seperti halnya vide-video seni pertunjukan menarik yang dihasilkan sejumlah AJI kota.
Perayaan HUT AJI, 7 Agustus 2022 (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Bahwa ‘Kaka’ Victor Mambo yang beroleh Udin Award, itu baru kuketahui lewat Fb di ruang sarapan, tadi. Hatiku pastilah girang. Bukan saja karena dalam beberapa hari terakhir (sejak Selasa siang kemarin) kami—dengan ‘Uda’ Hendra Makmur yang menjalankan tugas dari Padang— selalu bersama sebagai penguji di Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) di Jayapura dan 2 hari lalu (Minggu sore; sekitar 3 jam) kami menggelar kelas menulis di kantor media yang dipimpinnya, ‘Jubi’. Lebih dari itu, kami kawan lama. Penautnya adalah AJI.
Sebagai seorang wartawan, ‘Kaka’ Victor Mambo—dalam penilaianku berwawasan luas dan cakap secara teknis. Ia kritis, berjejaring luas, dan bernyali besar pula. Selama ini ia bertugas bukan di kawasan yang ‘normal’ melainkan di Papua, wilayah yang acap bergolak dan internetnya pernah dimatikan sampai berhari-hari oleh otoritas Jakarta seusai kerusuhan. Meliput di bumi cendrawasih ini tentu tidak bisa dengan pendekatan yang biasa-biasa terlebih jika medianya dianggap oleh penguasa Jakarta sebagai corong kaum pribumi yang menuntut haknya atas tanah, air, dan udara setempat.
Sebagai manajer, ia istimewa juga. Berkat dialah, terutama, ‘Jubi’ bisa sebesar sekarang. Selain tabloid, perusahaan media ini punya portal berita yang sebagian suguhannya rutin diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Belanda terutama untuk konsumsi khalayak di kawasan Pasifik dan Eropa.
Saat ini mereka sedang mengembangkan stasiun televisi. Kulihat pada Minggu kemarin saat diriku mengajar, 3 kamera standar TV difungsikan sekaligus untuk ‘live streaming’. Di bangunan bergaya ruko 3 tingkat ini mereka memiliki studio televisi.
Kantor Jubi (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Total awak kelompok ini 50-an orang. Korespondennya tersebar di sejumlah kota di bumi Papua. Sedangkan redakturnya ada yang di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan selain yang di markas Jayapura. Syofiardi Bachubi, Aryo Wisanggeni, Aries Munandar, dan Edho Sinaga termasuk. Mereka semua orang penting AJI.
MOTOR ‘JUBI’ DAN AJI
“Victor Mambo itu OPM [Organisasi Papua Merdeka] ya?” Seorang peserta ujian yang bukan dari AJI bertanya ke aku saat kami makan siang di sebelah lift yang dekat saja dengan ruang utama UKJ-UKW (Uji Kompetensi Wartawan). Lelaki yang ‘good looking’ dan parlente itu asal Sumatra. Pernah 4 tahun bertugas di Wamena, ia sudah lama menjadi wartawan di Papua. “Yang kudengar dari beberapa orang seperti itu,” lanjutnya.
Kendati bermuka-muka dan bicara langsung baru hari itu, kami berdua segera akrab. Kami bercakap sembari mengganyang makanan. Tentu saja unsur sesama orang Sumatra yang menjadi penaut utamanya. Omongan klop pula. Dia pasti berharap tak ada dusta di antara kami. Diriku juga demikian.
Kuterangkan ke dia seperti apa ‘Kaka Victor’ yang kukenal selama ini. Ya, seperti yang kuceritakan di atas. Kukatakan juga bahwa lelaki blasteran Papua (papa)-Palembang (mama) yang lahir dan besar di kota empek-empek merupakan sosok yang selalu mematuhi aturan main standar di dunia jurnalisme. Satu lagi, ‘Jubi’ memang sedari awal menempatkan diri sebagai penyambung lidah rakyat Papua. Suguhannya dengan sendirinya akan berbeda dari media massa lain yang jumlahnya terus membanyak.
Teman bicaraku tersebut manggut-manggut.
Sesi ujian yang mesti diteruskan menjadi pengakhir perbincangan kami siang itu. Sedikit saja cerita tentang ‘Kaka Victor’—jurnalis yang mengikuti UKJ pertama di Wisma Hijau, Mekarsari, Depok, pada 2012—yang sempat kusampaikan ke dia. Tapi, itu pun sudah lebih dari cukup.
Victor Mambo, salah satu penguji di UKJ [Uji Kompetensi Jurnalis] Jayapura (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Kuliah di Bandung (kalau tak salah), Victor Mambo pernah menjadi wartawan koran ‘Pikiran Rakyat’ (1996). Saat itu ia sudah menjadi bagian dari AJI, organisasi yang kami deklarasikan di Desa Sirnagalih, Bogor, pada 7 Agustus 1994.
Pada 2003 ia kembali ke tanah leluhurnya, Papua. Dunia jurnalis yang digelutinya untuk seterusnya. Ia sempat bergabung dengan sejumlah media sebelum di ‘Jubi’, media massa yang didirikan Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua.
Jubi’ pernah 2 kali mati. Maklum, NGO yang menjalankannya. Tatkala diminta kemudian memimpin tabloid ini Victor bersedia tapi dengan syarat. Ia menegaskan bahwa mesti kaum profesional (maksudnya: wartawan) yang mengurusi termasuk manajemennya. Kalau tidak, sejarah hidup-mati dan hidup-mati akan berlanjut.
Foker menerima syarat. Maka, sejak 2010 ‘Jubi’ menjadi entitas bisnis mandiri. Foker menjadi pesaham seperti halnya Victor dan seorang temannya.
Di bawah kepemimpinan ‘Kaka’ Victor Mambo ‘Jubi’ berkembang dengan sehat. Sejumlah lembaga dana internasional ikut menopang mereka. Wajarlah kalau gaji wartawan mereka terbilang baik.
“Kami pernah dipermasalahkan oleh sebuah otoritas keamanan negara. Mengapa gaji wartawan ‘Jubi’ besar, katanya. Saya bilang: bukan besar sebenarnya. Hanya saja memang di atas upah minimal kota,” perokok berantai itu berkisah saat kami makan malam di pinggir pantai, minggu lalu.
Bersama ‘Cendrawasih Pos’ (‘Cepos’), ‘Jubi’ yang sudi bekerjasama dengan media lain dalam menjalankan liputan—termasuk dengan ‘WatchDoc-nya Dandy Laksono si pembuat film dokumenter—menjadi media massa terkemuka Papua selama ini.
Malam resepsi Ultah AJI (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Itulah sepenggal kisah tentang sang mantan ketua AJI Jayapura yang mimiknya serius namun ujarannya acap jenaka. Bahwa suami perempuan asal Sumatra yang telah beroleh gelar master dari Melbourne, Australia, sekaligus ayah 2 anak (si sulung, perempuan yang sedang kuliah di Melbourne; si bungsu anak kelas 2 SMA di kitaran Angkasa, Jayapura) dinyatakan semalam sebagai peraih Udin ‘Award’, kurasa itu sesuatu yang sangat tepat. Soalnya, sekian lama dia telah banyak berjuang untuk menegakkan kemerdekaan pers sekaligus menyuarakan kebenaran di tanah Papua. Untuk itu segalanya telah dipertaruhkannya.
Selamat menjadi pemenang Udin ‘Award’ ya ‘Kaka Victor…Kalau ada salah tulis di artikel ini maklumlah. Pengerjaannya tergesa dan di ruang tunggu bandara pula. Verifikasi tak sempat. Tak perlulah melayangkan hak jawab apalagi mengadu ke Dewan Pers yang baru saja menanggung biaya UKJ kita.
*Catatan
-Tulisan ini kubuat sambil menunggu keberangkatan ke Jakarta dari Bandara Sentani dan kurampungkan di pesawat. Hasilnya kukirim barusan dari bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, saat transit.