Wawancara Eksklusif Ratnauli Gultom

Festival Mangga Toba, Ide Kreatif Warga Samosir

Ratnaulit Gultom, penggagas Festival Mangga Toba (foto: Istimewa)
Ratnaulit Gultom, penggagas Festival Mangga Toba (foto: Istimewa)

JAKARTA, Kalderakita.com: Ratnauli Gultom, pegiat lingkungan sekaligus inisiator wisata ecovillage di Desa Silimalombu, Kabupaten Samosir, menggagas acara yang ia sebut Festival Mangga Toba. Perhelatan yang baru pertama diadakan ini akan berlangsung selama seminggu mulai 28 Mei hingga 3 Juni 2021.

Lewat pesan whatsppp yang ia sebar, Ratnauli mengajak segenap orang untuk menghadiri acara penutupan Festival Mangga Toba hari ini (3 Juni 2021), pukul 10.00 – 11.00 di Silimalombu Ecovillage.

“Mari makan mangga sepuasnya. sekaligus penyerahan hadiah pemenang lomba cari mangga dan permainan bola rugby.”

Meski berlabel Festival Mangga Toba, namun hajatan ini akan diisi rupa-rupa kegiatan, pun komoditas yang dipamerkan. Jadi selain mangga, ada kemiri, kelapa, teh daun sirsak, teh dari daun rosela, daun kenikir, dan sebagainya.

“Ini bukan festival seperti sebuah pertandingan. Saya mungkin tidak tahu persis apa namanya, tapi yang ada dalam pikiran adalah ketika membuat festival, orang akan datang dan melihat. Di sinilah ada kesempatan bagi saya untuk mengedukasi. Jadi sebenarnya itu lebih ke edukasinya,” kata Ratnauli kepada Kalderakita.com saat berbincang via zoom baru-baru ini.

Ide ini muncul spontan saja. Awalnya Ratnauli yang bersuamikan seorang warga negara Jerman Thomas Heinie, kerap sedih menyaksikan buah-buah mangga berjatuhan dan pecah saat mendarat di bebatuan.

Belum lagi harga yang jatuh ketika pasokan mangga berlimpah saat penen;  hanya Rp.1.000 per kilo saat panen raya. Desa Silimaloumbu adalah salah satu pemasok mangga yang juga dikenal sebagai mangga udang karena bentuknya yang mirip udang.

Mangga Toba sudah ada sejak ratusan tahun lalu (foto: FB)

Padahal menurut eksperimen yang selama ini Ratnauli dan suaminya lakukan, Mangga Toba dapat diolah menjadi beragam produk turunan seperti wine, brendy, selai mangga, sus mangga, bolu gulung mangga, cuka, hand sanitizer, bahkan kulitnya dapat dijadikan body scrup untuk luluran.

 “Sebenarnya hal-hal sederhana itu yang akan kita edukasi ke orang. Nah ketika ada orang banyak datang untuk melihat [festival], itulah bagian dari edukasi ini. Itu sebabnya kenapa kita buat festival mangga ini satu minggu. Karena bukan festival seperti pertandingan ini dan itu tidak,” imbuhnya.

Ratnauli, putri penguasa tanah adat Desa Silimalombu seluas sekitar 300 hektar ini meyakini mangga yang ia sebut Mangga Toba adalah tanaman endemik yang hanya tumbuh di kitaran Danau Toba. Menurutnya mangga ini berbeda dengan mangga-mangga jenis lain yang ada di Jawa misalnya.

Ice cream mangga (foto: FB)

“Apa sih itu mangga Toba? Kenapa dia spesial? Karena mangga ini bisa dimakan dengan kulitnya,” katanya bersemangat sambil menambahkan bahwa buah endemik ini diyakini sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Mangga Toba, buahnya kecil dan berkulit kuning. Dia mirip mangga gedong yang ada di Pulau Jawa. Rasanya manis agak asam. Yang membedakan dengan buah mangga umumnya, kulitnya ternyata dapat disantap. Dulu, anak-anak kitaran Danau Toba biasa memakannya tanpa dikupas, langsung petik dari pohon dimakan bersama kulitnya, demikian kenang seorang warga Parapat yang telah merantau ke Jawa.

Pohon mangga ini tidak bisa sembarang tumbuh. Dia hanya berbuah baik jika ditanam di kitaran Danau Toba pada tanah ber ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Sentra produksi mangga yang telah lama dikenal antara lain adalah Muara, Bakkara, Lontung di Dairi, dan Nainggolan.

Ratnauli bersama Raja dan Ratu Belanda di ecovillage Silimalombu Maret 2020 (foto: FB)

“Yang terbanyak dan terbaik masih dari Silimalombu,” kata Ratnauli sambil tersenyum.

Sayangnya, untuk saat ini buah mangga belum dibudidayakan secara intensif dan masif. Buah-buah ini masih tumbuh secara alami. Begitupun menurut Ratna saat panen, hasilnya berlimpah sehingga harganya turun jauh. Ini antara lain penyebabnya mengapa banyak orang kurang berminat menanam mangga. Lewat Festival Mangga, Ratna ingin membuka mata banyak orang kalau mangga dapat dijadikan bermacam produk turunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Minim Dukungan

Meski telah sowan ke sejumlah instasi terkait seperti Dinas Pariwisata setempat, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPOD), bahkan Pemerintah Kabupatan Samosir, Ratnauli mengaku belum ada respons terutama dukungan dana untuk perhelatan ini.

“Sekarang, sampai hari ini [wawancara berlangsung Selasa, 25/5. Red] saya hanya dapat supporter berupa uang hanya sekitar 8 juta rupiah. Jadi, yang tadinya saya perkirakan ada 20 kapal [konsep foating market] mungkin hanya satu atau dua kapal saja. Karena uangnya itu hanya cukup segitu,” imbuhnya.

“Saya sudah ke Bapak Bupati; sudah saya sampaikan [rencana ini] tapi saat saya berbicara hari ini. belum ada [bantuan] apapun,” katanya.

Meski demikian bagi perempuan petani nan tangguh ini, minimnya ketersediaan dana bukan penghalang niat tulusnya mengedukasi lebih banyak orang agar lebih tertarik menanam mangga yang terbukti dapat diolah menjadi beragam produk turunan dan kudapan.